Sabtu, 24 Juli 2010

Makalah Tarikh Tasyri


By Agus Salim 
بسم الله الرحمن الرحيم

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DALAM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Makalah ini disusun sebagai Bahan Presentasi Mata Kuliah Tarikh Tasyri’ Semester VI

Disusun Oleh:

Agus Salim                                      107011003618
Ahmad Fauzi                                   107011003167
Ahmad Syauqi Al-Ayubi                  107011001312
Rosyidin                                          105011000159




JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010


BAB I
PENDAHULUAN

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air ? Maka dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Fase-fase Hukum Islam di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam samalah artinya dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Benarlah apa yang dikatakan Oleh Joseph Sacht, tidak mungkin mempelajari Islam tanpa mempelajari hukum Islam. Ini menunjukkan bahwa hukum sebagai sebuah institusi agama memiliki kedudukan yang sangat signifikan.
Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 H atau abad VII M yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab. Beberapa ahli menyebutkan bahwa hukum Islam yang berkembang di Indonesia bercorak Syafi’iyyah. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti sejarah diantaranya, Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai pada abad ke XIV M, Nuruddin ar-Raniri pada abad XVII dan lain-lain.[1]
Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut diatas maka ada beberapa pengidentifikasian masalah mengenai hal itu yaitu bagaimana perkembangan serta keberadaan Hukum Islam pada :
  1. Masa Prapenjajahan Belanda
  2. Masa Penjajahan Belanda
  3. Masa Pendudukan Jepang
  4. Masa Kemerdekaan (1945)
  5. Era Orde Lama dan Orde Baru
  6. Era Reformasi
B. Sejarah Perkembangan Hukum Islam dalam Perundang-Undangan Indonesia
I. 1. Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.[2]
I.2. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu: dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
I.3. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1.        Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2.        Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri
3.        Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU
4.        Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
5.        Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA
6.        Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka[3]
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
I.4. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Ketika Indonesia memasuki pintu kemerdekaan, mucul “para nasionalis Islami” (Islamic Nationalist) yang berjuang berasaskan Islam dan berpandangan bahwa negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam sebagai agama dalam arti luas, yaitu agama yang mengatur tidak hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan antara sesama manusia serta sikap manusia terhadap lingkungannya. Kelompik “Nasionalis Islami” ini berhadapan dengan para “nasionalis sekuler” yang merupakan pribadi-pribadi yang beranggapan bahwa agama dan negara itu terpisah secara tegas. Kompromi antara kedua kubu ini melahirkan modus vivendi, yakni rumusan untuk preambule Undang-Undang Dasar yang dikenal dengan Piagam Jakarta yang ditandatangani oleh sembilan anggota BPUPKI pada tanggal 22 Juni 1945. Dalam proses perumusan dasar negara lebih lanjut, yang dilakukan oleh wakil rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955, muncul tiga usul tentang dasar negara: Pancasila, Islam, dan sosialis ekonomi. Namun, lembaga legislatif yang dikenal dengan de – Konstituante itu tidak berhasil memutuskan dasar negara hingga kemudian keluar Dekri Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar tahun 1945, termasuk didalamnya dasar negara pancasila.[4]

            Pada zaman kemerdekaan, hukum Islam pun melewati dua periode:
  1. periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif (persuasive source) yakni dalam hukum institusi adalah sumber hukum yang baru diterima orang apabila ia telah diyakini.
  2. periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber autoritatif, yakni sumber hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum.[5]


Dalam hukum tata negara ketika ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959 sebagaimana dapat disimak berikut ini:
“Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam Konstitusi tersebut.”[6]
            Kata “menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat aturan perudangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Secara positif berarti bahwa pemeluk Islam diwajibkan menjalankan syariat Islam. Oleh karena itu, harus dibuat undang-undang yang akan memberlakukan hukum Islam dalam hukum nasional.
            Politik hukum negara Republik Indonesia barulah memberlakukan hukum Islam bagi pemeluknya oleh Pemerintah Orde Baru sebagaimana dibuktikan dengan adanya UUP No. 1/ 1974 tentang perkawinan. Pasal 2 undang-undang tersebut menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya.[7] Dalam upaya mengaplikasikan hukum Islam sesuai dengan konteks zaman dan waktu, timbul pemikiran-pemikiran baru pada zaman Orde Baru. Pemikiran ini berupaya melakukan penilaian ulang atas beberapa institusi hukum Islam seperti kewarisan dan peninjauan terhadap lembaga perbankan yang semakin menguat di kehidupan modern.
I.5. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.
Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.[8]

I.6. Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.



BAB III
PENUTUP
Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana.
Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita.

Daftar Pustaka
Praja, Juyaha S. Hukum Islam di Indonesia (Perkembangan dan Pembentukan). Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 1991.
Praja, Juyaha S. Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan Praktek). Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 1991.
Nuruddin, Amiur dan Akmal Tarigan, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Kencana, 2004.
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perkembangan-hukum-islam/ 













[1] Dr.H.Amiur Nuruddin dan Drs.Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. PT Kencana. Bandung, hal 1
[2] http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perkembangan-hukum-islam/ 
[3] http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perkembangan-hukum-islam/ 
[4] DR. Juhaya S. Praja. Hukum Islam di Indonesia (Perkembangan dan Pembentukan). PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, hal. Ix

[5] DR. Juhaya S. Praja. Hukum Islam di Indonesia(Perkembangan dan Pembentukan. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, hal. xi

[6] Opcit

[7] DR. Juhaya S. Praja. Hukum Islam di Indonesia(Perkembangan dan Pembentukan. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, hal. xii

[8] http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perkembangan-hukum-islam/ 

Tidak ada komentar: